20110823

MATERI PERUBAHAN SOSIAL

Bahan Ajar Pengantar Sosiologi
Gumgum Gumilar, S.Sos., M.Si./ Program Studi Ilmu Komunikasi Unikom


PERUBAHAN SOSIAL


Perubahan sosial dapat diartikan sebagai segala perubahan pada lembaga-lembaga
sosial dalam suatu masyarakat. Perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga sosial itu selanjutnya mempunyai pengaruhnya pada sistem-sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, pola-pola perilaku ataupun sikap-sikap dalam masyarakat itu yang terdiri dari kelompok-kelompok sosial.
Masih banyak faktor-faktor penyebab perubahan sosial yang dapat disebutkan, ataupun mempengaruhi proses suatu perubahan sosial. Kontak-kontak dengan kebudayaan lain yang kemudian memberikan pengaruhnya, perubahan pendidikan, ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang-bidang kehidupan tertentu, penduduk yang heterogen, tolerasi terhadap perbuatan-perbuatan yang semula dianggap menyimpang dan melanggar tetapi yang lambat laun menjadi norma-norma, bahkan peraturan-peraturan atau hukum-hukum yang bersifat formal.
Perubahan itu dapat mengenai lingkungan hidup dalam arti lebih luas lagi, mengenai nilai-nilai sosial, norma-norma sosial, pola-pola keperilakuan, strukturstruktur, organisasi, lembaga-lembaga, lapisan-lapisan masyarakat, relasi-relasi sosial, sistem-sistem komunikasi itu sendiri. Juga perihal kekuasaan dan wewenang, interaksi sosial, kemajuan teknologi dan seterusnya.
Ada pandangan yang menyatakan bahwa perubahan sosial itu merupakan suatu respons ataupun jawaban dialami terhadap perubahan-perubahan tiga unsur utama :
1. Faktor alam
2. Faktor teknologi
3. Faktor kebudayaan
Kalau ada perubahan daripada salah satu faktor tadi, ataupun kombinasi dua diantaranya, atau bersama-sama, maka terjadilah perubahan sosial. Faktor alam apabila yang dimaksudkan adalah perubahan jasmaniah, kurang sekali menentukan perubahan sosial. Hubungan korelatif antara perubahan slam dan perubahan sosial atau masyarakat tidak begitu kelihatan, karena jarang sekali alam mengalami perubahan yang menentukan, kalaupun ada maka prosesnya itu adalah lambat. Dengan demikian masyarakat jauh lebih cepat berubahnya daripada perubahan alam. Praktis takada hubungan langsung antara kedua perubahan tersebut. Tetapi kalau faktor alam ini diartikan juga faktor biologis, hubungan itu bisa di lihat nyata. Misalnya saja pertambahan penduduk yang demikian pesat, yang mengubah dan memerlukan pola relasi ataupun sistem komunikasi lain yang baru. Dalam masyarakat modern, faktor teknologi dapat mengubah sistem komunikasi ataupun relasi sosial. Apalagi teknologi komunikasi yang demikian pesat majunya sudah pasti sangat menentukan dalam perubahan sosial itu.
Perubahan kebudayaan seperti telah di sebut di atas, dapat menimbulkan perubahan sosial, meskipun tidak merupakan suatu keharusan. Kebudayaan itu berakumulasi. Sebab kebudayaan berkembang, makin bertambah secara berangsur-angsur,. Selalu ada yang baru, di tambahkan kepada yang telah ada. Jadi bukan menghilangkan yang lama, tetapi dalam perkembangannya dengan selalu adanya penemuanpenemuan baru dalam berbagai bidang (invention), akan selalu menambah yang lama dengan yang baru. Dan seiring dengan pertambahan unsur-unsur kebudayaan tersebut, maka berubah pula kehidupan sosial-ekonomi ataupun kebudayaan itu sendiri.
Paham determinisme, memberi pandangan yang deterministik menganggap hanya ada satu faktor yang paling menentukan perubahan sosial. Terhadap paham determinis ini dapat diadakan penggolongan besar menjadi dua. Pertama yang menganggap bahwa faktor yang paling menentukan tadi bersifat sosial, sedangkan yang kedua bersifat non-social. Untuk contoh golongan yang pertama, dapatlah di kemukakan misalnya pendapat Karl Marx dalam bidang ekonomi. la salah seorang tokoh yang terkenal dengan pendapat, bahwa perkembangan suatu masyarakat dapat dikatakan di tentukan seluruhnya oleh struktur atau perubahanperubahan struktur ekonomi masyarakat tersebut. Keadaan demikian dapat dikatakan sebagai suatu determinisme ekonomi. Contoh golongan kedua, misalnya adanya pandangan bahwa iklimlah yang paling berpengaruh terhadap perubahan sosial. Contoh lain adalah McLuhan yang menganggap bahwa inovasi-inovasi dalam bidang teknologilah yang lebih banyak pengaruhnya terhadap perkembangan di dalam masyarakat. McLuhan memilih teknologi informasi sebagai teknologi yang terpenting, yang paling mampu menyebabkan perubahan di dalam masyarakat. Jika teknologi atau cara-cara berkomunikasi masyarakat banyak mengalami perubahan, maka sudah pasti pula akan terjadi perubahan-perubahan sosial. McLuhan lebih maju satu Iangkah lagi dengan hipotesisnya yaitu "Societies have been shaped more by the nature of the media by which men communicate than by the content of the communication". (Masyarakat lebih banyak terbentuk oleh sifat-sifat alamiah dari media yang dipakai untuk berkomunikasi, daripada siaran atau isi berita itu sendiri) "The media is the message" adalah perumusan McLuhan yang terkenal. Salah satu alasan McLuhan adalah karena media yang baru tidak saja hanya menyebabkan 'perubahan dalam kesanggupan manusia menggunakan'pence inderanya.
Dalam keseluruhannya, baik yang bersifat sosial maupun yang non-sosial, kaum determines ini menganggap manusia itu hanya responsif belaka, reaktif saja. Padahal, manusia juga aktif membuat aksi agar pihak lain bereaksi. Juga dalam hal perubahan kebudayaan, manusia dengan pendangan hidupnya dan tingkahlakunya bukan saja merupakan suatu hasil dari pengaruh budaya, tetapi manusia sendiri menghasilkan dan menciptakan kebudayaan. Itulah sebabnya perubahan kebudayaan tidak boleh di pisahpisahkan dari para individu ataupun masyarakat pendukung kebudayaan itu. Unsur-unsur kebudayaan jangan dijadikan suatu kesatuan atau unit-unit yang berdiri sendiri lepas dari manusia.
10.1. Proses Perubahan Sosial
Proses perubahan sosial terdiri dari tiga tahap barurutan :
(1) invensi yaitu proses di mana ide-ide baru diciptakan dan dikembangkan,
(2) difusi, ialah proses di mans ide-ide baru itu dikomunikasikan ke dalam Sistem sosial, dan
(3) konsekwensi yakni perubahan-perubahan yang terjadi dalam sistem sosial sebagai akibat pengadopsian atau penolakan inovasi. Perubahan terjadi jika penggunaan atau penolakan ide baru itu mempunysi akibat. Karena itu perubahan sosial adalah akibat komunikasi sosial. Beberapa pengamat terutama ahli anthropologi memerinci dua tahap tambahan dalam urutan proses di atas. Salah satunya ialah pengembangan inovasi yang terjadi setelah invensi sebelum terjadi difusi. Yang dimaksud ialah proses terbentuknya ide baru dari suatu bentuk hingga menjadi suatu bentuk yang memenuhi kebutuhan audiens penerima yang menghendaki. Kami tidak memaaukkan tahap ini karena ia tidak selalu ada. Misalnya, jika inovasi itu dalam bentuk yang siap pakai. Tahap terakhir yang terjadi setelah konsekwensi, adalah menyusutnya inovasi, ini menjadi bagian dari konsekwensi.

Apakah perubahan sosial itu ?
Perubahan sosial adalah proses di mana terjadi perubahan struktur dan fungi suatu sistem social. Revolusi nasional, pembentukan suatu lembaga pembangunan desa, pengadopsian metode keluarga berencana oleh suatu keluarga, adalah merupakan contoh-contoh perubahan sosial Perubahan, baik pada fungi maupun struktur sosial adalah terjadi sebagai akibat dari kegiatan-kegiatan tersebut di atas. Struktur suatu sistem terdiri dari berbagai status individu dan status kelompok-kelompok yang teratur. Berfungsinya struktur status-status itu merupakan seperangkat peranan atau perilaku nyata seseorang dalam status tertentu. Status dan peranan saling mempengaruhi satu sama lain. Status guru sekolah misalnya, menghendaki perilaku-perilaku tertentu bagi seseorang yang menduduki posisi itu, dan mempengaruhi tingkah laku orang tersebut. Mungkin saja seseorang menyimpang jauh dari seperangkat tingkah laku yang diharapkan (karena dia menduduki posisi status tertentu), tetapi statusnya mungkin berubah. Fungsi sosial dan struktur sosial berhubungan sangat erat dan saling mempengaruhi satu sama lain. Dalam proses perubahan social, jika salah satu berubah, maka yang lain akan berubah juga. Berdirinya atau ditetapkannya organisasi kampus yang baru, mempengaruhi struktur social universitas karena didefinisikannya seperangkat fungsi baru di sana. Jika seseorang (pejabat) ";mulai berfungsi dalam status baru itu, mereka mungkin mempengaruhi fungsi universitas secara keseluruhan.

10.2. Macam-macam Perubahan Sosial
Salah.satu cara yang berguna dalam meninjau perubahan sosial ialah dengan memperhatikan darimana sumber terjadinya perubahan itu. Jika sumber perubahan itu dari dalam sistem sosial itu sendiri, dinamakannya perubahan imanen. Jika sumber ide baru itu berasal dari luar sistem social, yang demikian itu disebut Perubahan kontak.
Paradigma Perubahan Sosial
Sumber/asal Sumber kebutuhan l ide baru terhadap perubahan Dari dalam Dari luar
Dari dalam : kebutuhan
dirasakan oleh anggota
sistem sosial
Perubahan Imanen Perubahan Kontak Selektif
Dari luar : Kebutuhan diamati oleh agen pembaru atau orang luar sistem Perubahan imanen yang diinduks Perubahan kontakterarah Perubahan imanen terjadi jika anggota sistem sosial menciptakan dan mengembangkan ide baru dengan sedikit atau tanpa pengaruh sama sekali dari pihak luar dan kemudian ide baru itu menyebar ke seluruh sistem sosial. Seorang petani di Iowa menemukan alat sederhana untuk pengumpil jagung. Penemuan itu memudahkan pekerjaan dan tidak banyak memakan waktu. Dalam waktu singkat banyak tetangga penemu itu yang menggunakan alat tersebut. Dengan demikian perubahan imanen adalah suatu gejala "dari dalam sistem" Perubahan kontak terjadi jika sumber dari luar sistem sosial memperkenalkan ide baru. Perubahan kontak adalah gejala "antar sistem". Ada dua macam perubahan kontak, yaitu perubahan selektif dan perubahan kontak terarah. Perbedaan perubahan ini tergantung dart mana kita mengamati datangnya kebutuhan untuk berubah itu, dari dalamkah atau dari luar sistem sosial.
Perubahan kontak selektif terjadi jika anggota sistem sosial terbuka pada pengaruh dari luar dan menerima atau menolak ide baru itu berdasarkan kebutuhan yang mereka rasakan sendiri. Tersajinya inovasi itu sendiri secara spontan atau kebetulan; penerima babas memilih, menafsir atau menolak ide baru itu. Suatu ilustrasi mengenai perubahan kontak selektif ialah ketika para guru sekolah tertentu mengunjungi sekolah lain yang telah mengadopsi inovasi. Setelah mereka kembali ke sekolahnya sendiri, mungkin mereka menerapkan metode meugajar yang baru., tetapi tindakan nya itu dilakukan tanpa adanya paksaan atau kesengajaan dari kepala sekolah untuk mencari atau menerima inovasi itu. Perubahan kontak terarah atau perubahan terencana adalah perubahan yang disengaja dengan adanya orang luar atau sebagian anggota sistem yang bertindak sebagai agen pembaru yang secara intensif berusaha memperkenalkan ide-ide baru untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan oleh lembaga dart luar. Inovasi dan kebutuhan untuk berubah datang dari luar sistem. Banyak pemerintahan national yang mensponsori program-program pembangunan yang direncanakan untuk memperkenalkan inovasiinovasi teknologis di bidang-bidang pertanian, pendidikan, kesehatan, perindustrian dan sebagainya. Semua itu merupakan contoh perubahan kontak terarah yang kontemporer.
Ada teoritikus besar perubahan sosial yang menganggap perubahan kontak terarah (= pembangunan) itu tidal perlu. Akan tetapi August Comte tetap mempertahankan pendapat bahwa perubahan terarah itu berguna, sebagai kebalikan dari teori Darwinismesosialnya Herbert Spencer. Ini berarti Comte membantah teori taken-fair komplit dan survival of the fittest yang evolusioner. Pada abad sekarang ini sebagian besar pemerintahan nasional menunjukkan kecenderungan yang jelas mengikuti pendekatan Comte. Pemerintah-pemerintah nasional itu ingin lebih meningkatkan taraf kehidupan rakyatnya, suatu tujuan yang hanya dapat dicapai dengan program-program yang betelbetul terencana. Program perubahan yang terencana ini merupakan reaksi ketidakpuasan terhadap lambannya perubahan yang dihasilkan oleh perubahan imanen maupun perubahan kontak selektif.

Dalam arti luas mungkin benar bahwa sebagian besar perubahan sosial yang terjadi lebih banyak bertipe epontan daripada yang berencana. Jika penduduk secara teknis sudah lebih ahli dan lebih pandai mendiagnose perubahan mereka sendiri, maka perubahan kontak selektif akan dapat terjadi lebih cepat dan lebih efisien. Dalam hal ini agen pembaru mungkin akan bekerja di luar tugasnya atau setidaktidaknya dalam peranan yang barbeda. Agen pembaru harus memenuhi permintaan-permintaan inovasi dari kliennya. Tetapi pada umumnya para klien itu belum tahu apa kebutuhan mereka dan inovasi mana yang cocok untuk kebutuhan tersebut, sehingga perubahan yang lebih tepat diterapkan adalah perubahan terencana. Jika agen pembaru juga berusaha untuk meningkatkan kemampuan dan keahlian kliennya untuk menganalisis kebutuhannya, make pada masa mendatang mungkin akan lebih mudah terjadi perubahan imanen atau perubahan kontak selektif yang lebih cepat dan efisien. Umumnya perubahan terencana tidak selalu identik dengan keberhasilan. Keinginan untuk mempercepat perubahan telah menyebabkan lebih cepat laju peranan ilmu pengetahuan tentang bagaimana memperkenalkan inovasi ke masyarakat.. Jika hasil-hasil penelitian komunikasi yang dilakukan dalam penyebaran ide-ide baru itu dikumpulkan dengan baik, kita akan dapat menggunakannya untuk merencanakan program perubahan terencana secara lebih efektif.


10.3. Perubahan individual dan perubahan sistem.
Kita telah membahas perubahan sosial dari sudut datangnya inovasi. Sudut tinjauan lainnya bisa dilakukan dengan melihat perubahan itu dan unit pengadopsi atau yang menerima ide-ide baru itu. Dalam hal ini ada dua macam yaitu perubahan individual dan perubahan sistem- sosial. Banyak perubahan yang terjadi pada level individual, dimana seseorang bertindak sebagai individu yang menerima atau menolak inovasi. Perubahan pada level ini disebut dengan bermacam-macam nama, antara lain difusi, adopsi, modernisasi, akulturasi, belajar atau sosialisasi. Kami menggunakan istilah perubahan mikro untuk menyebut perubahan yang demikian ini karena ia memfokuskan, perhatian pada perilaku perubahan individual. Perubahan juga terjadi pada level sistem social. Ada berbagai istilah yang dipakai untuk perubahan macam ini, misalnya pembangunan, sosialisasi , integrasi atau adaptasi. Disini perhatian kita terarah pada level sistem sosial, karena itu kami pergunakan istilah perubahan makro.

Tentu saja perubahan pada kedua level itu berhubungan erat. Jika kita menganggap sekolah sebagai suatu sistem sosial, make pengadopsian suatu metode mengajar baru yang dilakukan oleh sekolah tersebut akan membawa kita pada proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh para guru sebagai pribadi untuk mengubah-metode mengajar mereka. Sama halnya, perubahan pada sebagian besar individu dalam sistem sosial akan mengaklbatkan pula perubahan pada sistem. itu sendiri. Keputusan para petani untuk mengadopsi varietas kopi yang lebih unggul mungkin akan me nyebabkan perubahan pada perimbangan perdagangan negara-negara di dunia internasional. Dibalik semua itu, barangkali semua analisa perubahan sosial harus memusatkan perhatiannya terutama pada proses komunikasi. Nyatanya semua penjelasan mengenai perilaku manusia berpangkal pada penyelidikan Mengenai bagaimana orang-orang itu memperoleh dan merubah ide-idenya melalui komunikasi dengan orang lain. Proses belajar, proses difusi dan proses perubahan pada dasarnya merupakan prosespengkomunikasian gagasan baru.

Ibda` | Vol. 5 | No. 2 | Jul-Des 2007 | 257-275 1 P3M STAIN Purwokerto | Aprinus Salam Perubahan Sosial
dan Pertanyaan tentang Kearifan Lokal
Aprinus Salam *)
*) Penulis adalah Magister Humaniora (M.Hum.), dosen tetap Fakultas Ilmu Budaya UGM. Dia juga dikenal sebagai cerpenis dan penyair yang cukup produktif. Bukunya yang terbaru adalah Oposisi Sastra Sufi (LKiS, 2004). Dalam waktu dekat ini, dia akan mempertahankan disertasinya di Pascasarjana UGM.
Abstract: the question about where the direction of social changes in Indonesia, not yet can’t answer with detail until this day. Bargaining proses still happen and everything could take place. On the other part, recently Indonesian people still worried, angry, distressed, and concerned. Democracy still struggled continuously, and we don’t know what democracy would remain. There’s so many problem that need to solve, law enforcement still confused, and society live in uncertainty. We need social change that places much role on local genius. This general picture became based story for almost every Indonesian novel and short story. Keywords: social change, local genius, Indonesian novel and short story.
Pengantar
Tulisan ini mengajak dan merefleksikan kembali konteks dan proses perubahan sosial, peristiwa-peristiwa tidak menyenangkan berkaitan dengan konflik dan kekerasan dalam segala arasnya, bagaimana proses dan peristiwa itu terjadi, kemana arah dari proses perubahan tersebut, bagaimana “pengetahuan” dan “cara” masyarakat menghadapi berbagai masalah, dan seberapa jauh peran kearifan lokal ikut berperan dan bermain dalam kehidupan bermasyarakat.
Tentu masalah tersebut terlalu luas. Itulah sebabnya, akan difokuskan pada beberapa kasus saja, yakni dengan membicarakan masalah berdasarkan satu kerangka yang diceritakan oleh sebuah film. Film tersebut sebuah film yang tidak membuat heboh, yakni film berjudul Chocolat (2000). Film Chocolat dibintangi oleh Juliette Binoche, Johnny Depp, Lena Olin, Judy Dench, Alfred Molina, dan Carrie-Anne Moss, dan disutradarai oleh Lasse Halstrom. Dengan mengambil setting Prancis tahun 1959, film ini meraih Oscar 2001 kategori best picture. Oleh karena film ini pula, akting Binoche mendapat penghargaan aktris terbaik 2001 versi Academy Award.
Film ini antara lain bercerita bagaimana penduduk lokal di sebuah pedesaan menerima pendatang (baru), bagaimana penduduk lokal mengapresiasi bahwa pendatang baru itu berbeda dalam memahami dan mempraktikkan agama, dalam cara-cara mendapatkan sumber ekonomi, hal-hal apa saja yang membuat benturan sosial terjadi, bagaimana proses perubahan nilai dan sosial berubah, dan siapa saja yang terlibat dalam proses sosial tersebut.
Cara melihat persoalannya adalah dengan merinci kejadian di Chocolat dan membandingkannya dengan realitas sosial dalam masyarakat Indonesia, khususnya Jawa. Potret
Ibda` | Vol. 5 | No. 2 | Jul-Des 2007 | 257-275 2 P3M STAIN Purwokerto | Aprinus Salam
yang diambil dalam masyarakat Indonesia secara umum bersifat acak, tetapi tidak tertutup kemungkinan bahwa hal-hal yang dibandingkan itu sesuatu yang bersifat umum. Saya juga sekali dua akan menyinggung beberapa novel yang relevan dengan pembahasan. Asumsinya, novel realis Indonesia secara relatif adalah sebuah cerita panjang tentang kehidupan (sosial) masyarakat Indonesia.
Aspek-aspek Perubahan Sosial
Dalam ilmu sosiologi dibedakan antara sosiologi makro dan sosiologi mikro. Sosiologi makro adalah ilmu sosiologi yang mempelajari pola-pola sosial bersekala besar terutama dalam pengertian komparatif dan historis, misalnya antara masyarakat tertentu, atau antara bangsa tertentu. Sosiologi mikro lebih memberikan perhatian pada perilaku sosial dalam kelompok dan latar sosial masyarakat tertentu.1 Berangkat dari pengertian tersebut agak sulit menempatkan studi perubahan sosial, apakah dalam posisi sosiologi makro atau mikro. Akan tetapi, mempertimbangkan beberapa hal, seperti akan dijelaskan kemudian, studi perubahan sosial berwajah ganda, baik sosiologi makro maupun mikro.
Namun demikian, merumuskan suatu konsep atau definisi yang dapat diterima berbagai pihak merupakan pekerjaan yang sulit dan bisa jadi tidak bermanfaat. Itulah sebabnya, dalam kajian ini teori perubahan sosial yang dikedepankan tidak berpretensi untuk memuaskan sejumlah tuntutan. Dalam kajian ini yang dimaksud dengan satu pengertian perubahan sosial adalah terjadinya perubahan dari satu kondisi tertentu ke kondisi yang lain dengan melihatnya sebagai gejala yang disebabkan oleh berbagai faktor. Hal itu terjadi lebih sebagai dinamika “bolak-balik” antara hakikat dan kemampuan manusia sebagai makhluk yang hidup dan memiliki kemampuan tertentu (faktor internal) berdialektika dengan lingkungan alam (fisik), sosial, dan budayanya (faktor eksternal).2
Persoalan yang dibicarakan oleh teori perubahan sosial antara lain sebagai berikut. Pertama, bagaimana kecepatan suatu perubahan terjadi, ke mana arah dan bentuk perubahan, serta bagaimana hambatan-hambatannya. Dalam kasus masyarakat Indonesia, hal ini dapat dilakukan dengan melihat sejarah perkembangan sosialnya. Seperti diketahui, Indonesia mengalami proses percepatan pembangunan, atau modernisasi awal terutama setelah tahun 1900-an, yakni ketika Belanda memperkenalkan kebijakan politik etis. Akan tetapi, seperti akan dijelaskan kemudian, percepatan perubahan di Indonesia terutama terjadi setelah tahun 1980-an. Hal itu berkaitan dengan pengaruh timbal balik perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta beberapa kemudahan yang disebabkan faktor tersebut.
Kedua, faktor apa yang berpengaruh terhadap perubahan sosial. Dalam hal ini terdapat enam faktor yang berpengaruh terhadap perubahan sosial; (1) penyebaraan informasi, meliputi pengaruh dan mekanisme media dalam menyampaikan pesan-pesan ataupun gagasan (pemikiran); (2) modal, antara lain SDM ataupun modal finansial; (3) teknologi, suatu unsur dan sekaligus faktor yang cepat berubah sesusai dengan perkembangan ilmu pengetahuan; (4) ideologi atau agama, bagaimana agama atau ideologi tertentu berpengaruh terhadap porses perubahan sosial; (5) birokrasi, terutama berkaitan dengan berbagai kebijakan pemerintahan tertentu dalam
membangun kekuasaannya; (6) agen atau aktor. Hal ini secara umum termasuk dalam modal SDM, tetapi secara spesifik yang dimaksudkan adalah inisiatif-inisiatif individual dalam “mencari” kehidupan yang lebih baik.
Ketiga, dari mana perubahan terjadi, dari negara, atau dari pasar bebas (kekuatan luar negeri), atau justru dari dalam diri masyarakat itu sendiri. Keempat, hal-hal apa saja yang berubah dan bagaimana perubahan itu terjadi. Seperti diketahui, perubahan dapat sesuatu yang berbentuk fisik (tampak/material), misalnya terjadinya pembangunan dalam pengertian fisik, tetapi ada pula hal-hal yang tidak tampak (nonmaterial), seperti pemikiran, kesadaran, dan sebagainya. Kelima, hal-hal atau wacana-wacana apa saja yang dominan dalam proses perubahan sosial tersebut? Misalnya, untuk kasus Indonesia di antara enam faktor perubahan seperti disinggung di atas, mana di antaranya yang dominan, dan mengapa hal tersebut terjadi.
Keenam, bagaimana membedakan konteks-konteks perubahan dalam setiap masyarakat dan bagaimana proses sosial tersebut berlangsung. Dalam masalah ini, pertama, ada yang disebut proses reproduksi, yakni proses pengulangan-pengulangan dalam ruang dan waktu yang berbeda seperti halnya warisan sosial dan budaya dari masyarakat sebelumnya. Kedua, apa yang disebut sebagai proses transformasi, yakni suatu proses perubahan bentuk atau penciptaan yang baru, atau yang berbeda dari sebelumnya.3
Tulisan ini tidak membicarakan semua aspek perubahan sosial, tetapi hanya menyinggung beberapa hal di antaranya.
Situasi-situasi Awal
Terdapatlah sebuah kota kecil, lebih tepatnya pedesaan, di Perancis yang religius dan tenang pada tahun 1950-an. “Jika Anda tinggal di kota itu Anda akan mengerti apa yang diharapkan oleh kota itu”. Masyarakat hidup dengan saling mengenal. Walikota, Comte de Raynaud, seorang Katholik yang taat, juga sangat mengenal siapa saja warganya. Dia dapat berhubungan dan berbicara langsung dengan warganya di mana saja. Walikota hampir sepenuhnya menguasai penduduk, bahkan seorang pendeta muda yang baik selalu mendapat petunjuk dari Walikota jika akan berkhotbah di gereja. Tidak jarang teks pidato sang pendeta “direvisi” oleh Walikota. Tujuan Walikota tentu saja agar warga mendapat informasi dan “pengetahuan yang benar” dan patuh pada kekuasaannya.
Potret seperti itu tidak berbeda jauh dengan kondisi di desa-desa Indonesia, paling tidak untuk tingkat kelurahan, bahkan mungkin hingga tingkat kecamatan. Mencari seseorang di sebuah pedesaan, cukuplah tahu namanya, apalagi orangtua di desa, Anda akan menemukan orang tersebut. Hampir dapat dipastikan, lurah, atau bahkan camat, di pedesaan Indonesia pastilah sangat dikenal. Tokoh lain yang juga dikenal di pedesaan adalah tokoh agama, semacam ustad, ulama, atau kiai. Selain itu, biasanya “orang kaya” juga sangat dikenal dalam sebuah desa.
Itulah sebabnya, biasanya dibedakan sebagai tokoh formal dan informal. Dalam praktiknya, tentu terdapat “persaingan” dalam memperebutkan pengaruh dengan interes politik ekonomi, atau interes atas nama agama. Film Chocolat secara langsung tidak menyindir “trikonomi kekuasaan”
tersebut, karena tokoh formal tampaknya telah menguasai semua medan dan jalur-jalur kekuasaan. Akan tetapi, hal yang lebih penting dari itu bahwa “terkotomi kekuasaan” tersebut di pedesaan Indonesia hingga kini masih memainkan peranan penting dan mementukan proses-proses perubahan dalam segala arasnya.
Dalam film tersebut, tidak diceritakan secara eksplisit mata pencarian warga. Akan tetapi, melihat kegiatan pendeta, sangat mungkin sebagian besar mata pencarian penduduk adalah bertani. Listrik sudah jalan dengan baik, sudah ada salon dan steaming, tetapi secara umum masyarakat tidak teknologis. Situasi sosial berlangsung cukup tenteram dan hidup dengan mempertahankan tradisi.
Suatu hari, ketika masyarakat sedang beribadah di gereja (misa), tiba-tiba ada angin berhembus kencang dari utara sehingga menyebabkan pintu gereja terbuka. Semua orang terkejut. Seperti mengingatkan sesuatu, sangat mungkin ini berkaitan dengan pengetahuan lokal (local knowledge)4 masyarakat tersebut, Walikota segera menutup pintu itu. Pengetahuan lokal tersebut bisa berarti bahwa masyarakat tersebut mengenal tanda-tanda alam yang menandakan akan terjadi sesuatu. Akan tetapi, bisa juga diartikan bahwa secara simbolis ingin menggambarkan bahwa mereka tidak membuka pintu untuk sesuatu yang lain, atau sesuatu yang baru.
Sekali lagi, potret seperti itu juga merupakan potret umum pedesaan di Indonesia. Masyarakat sebagian besar hidup dengan tentram dan damai. Tentu tidak tertutup kemungkinan terjadi konflik-konflik. Dulu-dulu berbagai konflik lokal pada umumnya diselesaikan secara kekeluargaan. Memang, saat ini sejumlah konflik mulai diselesaikan secara hukum, tetapi tampaknya itu gejala baru. Masyarakat pedesaan di Indonesia tentu memiliki pengetahuan lokal atau kearifan lokal juga, terutama berkaitan dengan cara-cara masyarakat mengatasi dan memberi makna terhadap problem hidupnya. Gejala sebuah masyarakat pedesaan cenderung menutup diri dari berbagai perubahan juga bukan gejala yang asing. Umar Kayam pernah membuka novel Para Priyayi (1992) sebagai berikut.
Wanagalih adalah sebuah ibu kota kabupaten. Meskipun ibu kota itu suatu ibu kota lama yang hadir sejak pertengahan abat ke-19, kota itu tampak kecil dan begitu-begitu saja. Seakan-akan usianya yang tua itu tidak memberinya kesempatan untuk tumbuh dan berkembang. Tentu, pohon-pohon asam yang besar dan rindang yang berderet sepanjang jalan raya yang membelah kota itu, yang saya kenal dengan sangat akrab pada masa kecil saya, telah tidak ada lagi dan diganti dengan pohon akasia yang nampak lebih ramping, ... Tetapi di balik kios dan toko itu, di pasar, orang masih menjual barang-barang yang sejak dulu hadir di situ dan yang saya kenal akrab juga sejak masa kecil saya. ... (hlm. 1).
Namun demikian, diam-diam tersembunyi sedikit kegelisahan. Sebetulnya warga tidak cukup bahagia. Ada perasaan jenuh dengan kehidupan yang relatif monoton. Lebih dari itu, perempuan hidup dengan sangat tersubordinasi, dan demokrasi tidak jalan. Semua serba dikontrol oleh “pemerintah”.
Masuknya Sesuatu yang Lain
Suatu hari, dari utara datanglah seorang wanita bernama Vianne, seorang yang sudah banyak mengelana dan melihat dunia, ingin mengadu nasib di kota kecil itu. Pilihan terhadap Vianneyang
telah berkelana sangat mungkin dimaksudkan sebagai sesuatu yang menolak “satu lokalitas”, dan diandaikan telah menyerap “banyak lokalitas”, atau lokalitas-lokalitas telah melebur dalam dirinya sehingga menjadikan Vianne yang “lintas-lokalitas”, dan siap hidup di mana saja. Saya membayangkan film ini akan menolak lokalitas tertentu, dan memenangkan lintas-lokalitas. Vianne datang bersama anak perempuannya yang masih kecil berumur sekitar 8 tahun. Vianne memiliki keahlian, atau selama ini, ia hidup dengan mengandalkan ketrampilan membuat dan menjual kue coklat dengan berbagai jenis dan khasiat.
Kedatangan Vianne segera mencuri perhatian. Bukan saja karena ia sebagai pendatang baru, melainkan cara hidupnya juga sedikit berbeda dengan pada umumnya wanita di desa itu. Seorang wanita dengan anak tanpa suami, mandiri, dan tidak mengenal takut. Semua mata memandang dengan penuh curiga kepada Vianne, bahkan ada yang mengintip-ngintip kegiatan Vianne. Beberapa hari kemudian Walikota bertemu di dekat ruko Vianne dan bertanya, “Siapa Anda dan dari mana?” Pertemuan berjalan singkat. Walikota memberi nasihat agar Vianne ke gereja pada hari Minggu. Vianne menjawab, “Saya akan memberi sumbangan. Dan saya suka suara bel gereja. Tapi saya tidak ikut misa.” Walikota merasa tidak nyaman. Dalam perjalanan pulang Vianne berkata kepada anaknya, “Sebuah kota yang menyenangkan”. Anaknya berkata, “Ini kota yang aneh”.
Perbedaan mulai muncul. Walikota yang merasa otoritas sekular dan religiusnya terganggu mulai memberi komentar terhadap siapa Vianne, bahwa mungkin Vianne wanita jalang dan si anak adalah anak haram. Penduduk bahkan ikut berkata, “Aku dengar dia sangat radikal. Aku dengar dia atheis.” Hanya, seperti juga ragamnya manusia, tidak semua menolak kehadiran Vianne. Ada seorang tua, yang memiliki ruko yang disewa Vianne, bisa menerima kehadiran Vianne. Bukan dalam rangka karena Vianne menyewa rukonya, melainkan lebih karena Vianne dapat menjadi tempat untuk “curhat” segala kegelisahan. Orang tua itu punya kegelisahan karena ia dijauhkan hubungannya dengan cucunya. Yang menarik, orang tua pemiliki ruko tersebut justru sangat egaliter, semua kepercayaan/pengetahuan lokal yang menjadi pengetahuan bersama ditentangnya sambil tersenyum. “Umurku sudah banyak. Aku tidak percaya dengan semua aturan dan kepercayaan yang membelenggu. Aku ingin hidup bebas dan wajar. Toh aku bisa mati kapan saja.” Dia juga bercerita bahwa cucunya sepenuhnya dikuasai oleh ibunya, anak si orang tua. Dalam prosesnya nanti, nenek dan cucu dapat dipertemukan kembali oleh Vianne. Di hari yang lain nenek itu pernah pula berkata, “Jangan khawatir dengan larangan.”
Sikap dan komentar penduduk bukan tidak diketahui oleh Vianne. Menghadapi segala ketidaksukaan itu, Vianne selalu tersenyum, bahkan selalu menawarkan orang untuk masuk ke tokonya, merasakan coklat secara cuma-cuma. Terdapatlah seorang suami yang sudah tidak bergairah lagi kepada istrinya. Secara kebetulan dia memakan coklat buatan Vianne yang berkhasiat. Laki-laki itu kembali bergairah kepada istrinya. Seorang istri yang lain mengadu kepada Vianne bahwa ia selalu dikasari suaminya, Vianne membela sepenuh hati, bahkan harus berhadapan fisik dengan suami yang kasar itu. Diam-diam sejumlah orang mulai membutuhkan Vianne.
Kota kecil itu mulai terkocok. Konflik-konflik mulai bermunculan secara terbuka, terutama yang masih dalam pengaruh Walikota dan kelompok yang mulai menerima Vianne. Sejumlah orang mulai berdatangan ke ruko Vianne dan berdiskusi soal cara membuat coklat dan khasiatnya. Konflik menjadi lebih mengeras ketika ada pendatang baru, lewat jalur sungai, sekelompok gipsi laut, orang desa itu menamakannya “tikus sungai”, datang untuk mengadu peruntungan. Gipsi laut yang biasa hidup bebas, suka menyanyi, dan menari, segera disambut dengan ramah oleh Vianne, tetapi tidak oleh penduduk kampung. Pola dan gaya hidup para gipsi segera direspons oleh penduduk yang masih percaya pada Walikota. Mereka membuat pamflet. “Boikot immoralitas”, demikian pamflet-pamflet di kota itu. Pada akhirnya, penduduk kampung terbagi ke dalam beberapa faksi. Faksi Walikota yang masih menguasai sebagian besar penduduk kota, faksi Vianne yang didukung oleh “tikus sungai” dan beberapa penduduk yang mulai menyukai kebaikan hati Vianne, dan faksi yang mulai ragu-ragu terutama diwakili oleh pendeta muda.
Cerita seperti itu juga hampir menjadi stereotip di pedesaan kita (khususnya di Jawa). Paling tidak, terdapat tiga institusi yang berpengaruh di pedesaan, yakni institusi pemerintah yang diwakili oleh aparat kelurahan, institusi kiai (tokoh agama), dan institusi tokoh informal (tokoh sekular, dan biasanya orang kaya desa, atau orang berilmu). Setiap desa tentu punya karakter sendiri-sendiri, siapa di antara tiga institusi tersebut yang lebih dominan. Dalam beberapa novel Indonesia, seperti tampak dalam novel Kuntowijoyo, Ahmad Tohari, Umar Kayam, institusi pemerintah (lurah) dan kiai (Jawa) tampak dominan. Hal tersebut dapat dilihat di dalam cerita novel-novel mereka.
Dalam Chocolat institusi pemerintah mengambil legitimasinya dari doktrin keagamaan. “Kekuasaan menentukan salah benar,” atau “Dosa abadi adalah dosa yang dilakukan dengan sadar,” suatu hari Walikota berkata pada pendeta. Legitimasi itu dioposisikan dengan pandangan baru yang lebih sekular (dan rasional) dari Vianne. Hal itu dimaksudkan bukan ingin melawan institusi pemerintah, tetapi lebih dalam kerangka ketidaksetujuan jika agama dimanfaatkan untuk kepentingan menjaga kekuasaan. Dalam film itu diceritakan bahwa kadang-kadang walikota memanfaatkan ajaran Katholik dengan mengklaim ajaran tersebut sesuai dengan kearifan lokal, yakni kepercayaan terhadap kehendak leluhur, harus mempertahankan tradisi, harus patuh terhadap pimpinan, padahal di balik itu Walikota hanya ingin kekuasaannya tidak terganggu. Di balik semua itu, yang ingin dilawan bukan saja pemanfaatan yang membuat masyarakat menjadi takut dianggap melawan agama, melainkan perlawanan terhadap masyarakat yang terkungkung dalam situasi tidak nyaman, tidak bahagia, yang beku. Ajaran agama yang dimanfaatkan tidak mendukung perubahan, ia bersifat tertutup.
Substansi Kearifan dan Konstruksi Kekuasaan
Chocolat menceritakan bahwa proses tawar-menawar tidak berjalan dengan mudah. Vianne sempat diserang secara fisik oleh orang-orang Walikota. Kelompok gipsi bahkan kapalnya dibakar (“Kebakaran itu kehendak Tuhan,” komentar Walikota). Di satu pihak para penguasa lokal ingin mepertahankan otoritas kekuasaannya, di lain pihak masyarakat mulai merasakan manfaat dari sesuatu yang lain, sesuatu yang baru. Tentu ada keberpihakan di dalamnya, yakni sebaiknya setiap
orang hidup dengan kebebasan di dalam dirinya. Setiap orang berhak menentukan nasibnya sendiri. Berdasarkan kejadian itu, dan terjadinya beberapa kejadian, sharing, perlawanan rasional dari faksi Vianne, komposisi-komposisi baru mulai terjadi. Komposisi baru bukan saja pada tingkat kesadaran, tetapi juga pada tingkat kenyataan sosial. Masyarakat mulai melunak dan menerima secara gradual “dunia kebebasan” yang dibangun oleh Vianne.
Dari catatan tersebut dapat diketahui bahwa para tokoh pembaru adalah Vianne, orang tua pemilik ruko, dan para gipsi. Mereka semua adalah para pendatang, para pendatang ke semua tempat. Namun demikian, seperti telah disinggung, para pendatang bukan orang-orang yang tidak memiliki lokalitas, yang ingin ditawarkan adalah lokalitas bukan sesuatu yang penting untuk dipertahankan jika masyarakat tidak bahagia, tidak nyaman, kehidupan tidak demokratis. Dunia selayaknya dibangun di atas tataran lintas-lokalitas. Lokalitas yang mampu berdialektika dan membangun komposisi baru dengan lokalitas-lokalitas lain. Tampaknya tawaran tersebut lebih realistis. Saat ini, mungkin tidak terdapat satu masyarakat tertentu yang homogen, yang terjadi adalah (dan selalu) percampur-bauran. Sebagai konsekuensinya, pengetahuan lokal dan kearifan lokal juga perlu mengadaptasi dan mengadopsi sesuai dengan komposisi baru tersebut. Kalau hal tersebut tidak dilakukan, pengetahuan lokal atau kearifan lokal cenderung anarkis dan eksklusif. Dia menolak keberadaan lain, sesuatu yang lain di lingkungannya sendiri. Tegasnya, yang dibutuhkan bukan sekadar kearifan lokal, melainkan lebih-lebih adalah kearifan sosial.
Pesan penting dari film itu bahwa pada dasarnya setiap orang ingin menawarkan kearifannya sendiri-sendiri. Walikota yakin bahwa hidup harus sesuai dengan aturan agama katholik, hidup asketis dan prihatin, hidup adalah mencari ketenangan. Akan tetapi, di balik itu, juga ketenangan Walikota dengan otoritas dan kekuasannya. Padahal, film ini ingin menawarkan kearifan lain, yang diwakili oleh Vianne, kearifan itu terutama berupa kebaikan hati, perhatian kepada orang dan lingkungan, memiliki keberanian secara individual, terbuka dan siap berdialog dengan siapa saja, bisa dipercaya/tidak berkhianat (Vianne menyimpan banyak rahasia orang-orang yang “curhat” padanya), rela berkorban, selalu bersemangat untuk mencari kehidupan yang lebih baik, suatu kearifan sosial.
Dengan demikian, dalam pembicaraan ini terdapat dua konsep kunci yang ingin dipersoalkan dan sekaligus dihadapkan, yakni konsep kearifan lokal dan kearifan sosial. Sejauh ini, belum terdapat pengertian kearifan lokal yang mampu mengakomodasi dan memberikan jangkauan pengertian yang luas. Dalam pengertian terbatas tersebut yang dimaksud dengan kearifan lokal adalah seperangkat nilai dan pengetahuan yang dipelihara “secara eksklusif” oleh kelompok masyarakat lokal tertentu, yang pada mulanya berhubungan dengan cara-cara pemahaman dan praktik sosial masyarakat berhadapan dengan alam dan lingkungan (ekologi). Bentuk-bentuk pemeliharaan biasanya berupa ungkapan, pribahasa, dongeng-dongeng atau cerita mitos dan folklor, filsafat sosial, atau bahkan dalam ritus-ritus budaya yang bertujuan memelihara keseimbangan dan harmonisasi antara manusia dengan alam dan lingkungan (ekologi)), dan secara khususnya menjaga hubungan baik dengan kekuatan supranatural (Tuhan/Allah/Yang Maha Esa/Yang Mahakuasa).
Sementara itu, yang dimaksud dengan kearifan sosial adalah seperangkat nilai dan/atau pengetahuan kebajikan yang mempengaruhi orang atau masyarakat dalam melakukan tindakan atau praktik-praktik sosial, yang secara khusus lebih dalam konteks bagaimana cara-cara orang atau masyarakat dalam mengelola relasi-relasi sosial, mengelola kehidupan bermasyarakat atau bahkan bernegara. Secara lebih khusus kearifan sosial dapat diarikan seperti kebaikan hati, tidak berprasangka buruk, suka menolong, tidak bergunjing, perhatian, ramah, berani secara individual asal benar, mau berkorban, jujur, toleran, semangat untuk hidup lebih bak, dan sebagainya.
Akan tetapi, dalam pengertiannya yang lebih lebar, kearifan lokal kemudian mengalami transformasi pengertian, yakni segala sesuatu yang berkaitan dengan kekhasan budaya-budaya lokal tertentu yang harus diakui keberadaannya, dan berbeda dengan kekhasan budaya lokal tertentu lainnya. Dalam praktiknya, dalam situasi inilah kearifan lokal kadang-kadang berbenturan dengan kearifan sosial. Benturan terjadi ketika klaim kearifan lokal dianggap lebih berdaulat dibanding perbedaan-perbedaan dan perbauran yang terjadi di tingkat sosial. Jika pengakuan terhadap kearifan lokal didahulukan (dimenangkan), maka sangat mungkin kearifan lokal terkesan tidak adaptif terhadap konteks-konteks hubungan kemanusiaan yang lebih luas. Oleh karenanya, seperti diketahui, dalam pengertian awalnya memang kearifan lokal tidak dimaksudkan sebagai satu perangkat pengetahuan untuk mengelola relasi sosial.
Terdapat contoh yang menarik bagaimana kearifan lokal dan kearifan sosial dibedakan dan sekaligus selayaknya dipraktikkan secara bersamaan, misalnya dalam cara membangun rumah. Bagaimana rumah dibangun, menghadap ke arah mana, dari bahan apa (bambu, kayu, atau bata), kapan hari baik untuk masuk rumah, dan sebagainya, secara khusus merupakan kearifan lokal masyarakat bersangkutan. Akan tetapi, pengatahuan lokal yang khusus itu hanya bisa berlaku pada waktu dulu, ketika penduduk dan tanah masih sangat luas untuk dibangun. Sekarang kenyataanya berbeda, tanah untuk hunian sangat sempit, sementara penduduk bertambah terus, dan kemiskinan. Sebagai resikonya, banyak rumah dibangun asal-asalan. Sementara itu, kearifan sosial lebih bersangkutan dengan bagaimana orang mengambil keputusan dalam membangun rumah agar ramah dengan tetangga, tidak membuat tetangga menjadi tersingkir atau menjadi tidak nyaman dengan keberadaan rumah tersebut.
Dalam film Chocolat kearifan lokal diperlihatkan dalam cara-cara pengetahuan yang diturunkan secara sepihak oleh Walikota (pemimpin lokal), khususnya dengan memanfaatkan jalur keagamaan/kepercayaan. Tujuannya dari kearifan tersebut adalah menjaga hidup agar “baik-baik dan tengan-tenang saja”. Kehidupan seperti itu bukan berarti di dalamnya tidak akan ada perubahan karena masyarakat secara fisik terus bekerja. Yang diandaikan akan mengalami perubahan yang sangat lambat adalah perubahan kesadaran, atau jika memang tidak ada faktor baru di tingkat kenyataan sosial, maka kesadaran itu akan berjalan secara “konstan.” Jika itu yang terjadi, masyarakat tersebut diandaikan, pada tingkat kesadaran, masyarakat yang tidak adaptif terhadap hal-hal baru, hal-hal yang berbeda dari kebiasaan mereka, sesuatu yang lain.
Ruang Negosiasi dan yang Dinegosiasikan
Sekali lagi, potret dinamika sebuah masyarakat yang dipotret dalam film itu seperti menceritakan persoalan umum masyarakat Indonesia. Di kampung saya (Sono, Sinduadi, Sleman), misalnya, hampir seperti diceritakan dalam film tersebut. Bagaimana pada mulanya pendatang diterima dengan “kecurigaan”, bagaimana ulama setempat hampir sepenuhnya menguasai penduduk dengan ceramah-ceramah moral keagamaan (Islam), bagaimana penduduk setempat mengapresiasi pendatang yang berdatangan terus- menerus, dan bagaimana proses-proses negosiasi “cara hidup bersama” berlangsung. Ada yang sukses dan diterima menjadi bagian dari penduduk dalam komposisi baru, tetapi masih ada satu dua yang belum diterima, dan tidak jarang menimbulkan konflik-konflik kecil.
Salah satu yang cukup penting dipersoalkan adalah di mana saja ruang negosiasi tersebut dan apa saja yang dinegosiasikan? Bagaimana kearifan lokal dan kearifan sosial menentukan konteks dan wacana negosiasi?
Ruang paling penting dalam film Chocolat adalah ruko, sekaligus berfungsi sebagai kafe. Setelah masyarakat mulai menerima Vianne, dan satu-satu mulai berdatangan ke ruko tersebut, di rukolah segala sesuatunya didiskusikan secara bebas dan terbuka. Di ruko/kafe, tidak ada tekanan dan kontrol dalam mengemukakan pendapat. Mereka dapat berbicara bebas, saling mendengar dan menghormati. Pada umumnya yang dinegosiasikan adalah soal pengetahuan tentang coklat, perbedaan persepsi tentang hidup antara kelompok Walikota dan orang yang berusaha bebas dari pengaruh Walikota, tentang cara mengisi kehidupan dan masa depan penduduk atau kota tersebut. Vianne pernah berujar, “Memang sulit menjadi orang lain dari biasanya.”
Ruang yang juga penting adalah kantor Walikota. Di ruang ini Walikota memberi kasak-kusuk dan perintah secara sembunyi-sembunyi. Gereja adalah ruang yang tidak kalah pentingnya. Pernah pendeta membacakan sebuah teks berdasarkan revisi Walikota, “Setan punya banyak samaran, jadi lirik lagu, penyair, pengarang novel porno, ada kalanya membuat hal-hal manis seperti coklat, yang membawa godaan.” Ruang lain yang penting, tetapi jarang digunakan adalah ruang Dewan (semacam DPRD) untuk melakukan public hearing. Di ruang ini, walau masyarakat boleh berbicara bebas, tetapi tentu akan mengalami keterbatasan. Uneg-uneg yang bisa muncul di ruko akan mengalami pemilihan diksi sesuai dengan etika tertentu di masyarakat tersebut. Arah pembicaraan dan keputusan-keputusan yang diambil dalam dialog resmi sangat mungkin dikontrol oleh orang yang berkuasa dalam pertemuan publik tersebut.
Kejadian itu sebetulnya tidak jauh berbeda dalam masyarakat kita. Kantin, angkringan, kedai kopi, kafe, restoran, lobi (hotel), dan sebagainya merupakan tempat yang biasa digunakan untuk berdiskusi dan bernegosiasi. Di Pekan baru, terdapat sebuah kedai kopi (dan makan) yang bernama Kim Teng. Kedai itu mulai dari jam 6 pagi hingga sore didatangi banyak orang dari berbagai golongan, tingkatan, dan status. Hampir semua hal dan kejadian, didiskusikan secara bebas di kedai itu. Di kedai itu pula terjadi kebebasan. Orang bisa melupakan atribusi dirinya, dan bisa menjadi manusia apa adanya di kedai itu, walaupun nanti di luar kedai mereka kembali menjadi orang tertentu dengan sejumlah atribusi yang terkait dengan dirinya. Akan tetapi, paling tidak, banyak
hal dapat dinegosiasikan, dan tidak jarang beberapa keputusan dan kebijakan (sosial) diambil di kedai itu.
Tampaknya, dalam Chocolat, kearifan sosial lebih diutamakan berhadapan dengan kearifan lokal yang dianggap ekslusif, tidak demokratis, kuno, dan tidak terlalu berguna dalam menjaga hubungan baik dengan sesama manusia. Di ruang publik yang heterogen, secara relatif kearifan lokal hanya berguna bagi dirinya sendiri dan bagi penganutnya. Kearifan lokal bisa di-sharing-kan, tetapi tidak untuk mengatasi persoalan sosial dan relasi kemanusiaan. Oleh karena dalam masyarakat yang semakin heterogen, bukan kearifan lokal yang perlu dikedepankan, tetapi kearifan sosial.
Bentuk-bentuk Perubahan atau Situasi-situasi Akhir
Kemana arah perubahan sosial di Indonesia, hingga hari ini tampaknya belum dapat dibaca dengan cukup cermat. Proses tawar-menawar masih sedang terjadi, dan semua hal masih sangat mungkin terjadi. Akan tetapi, yang pasti, hingga kini masyarakat Indonesia masih sedang gelisah, marah, sedih, dan prihatin. Demokrasi masih diperjuangkan terus-menerus, dan tidak tahu demokrasi seperti apa yang akan terjadi, penegakan hukum masih simpang siur, dan secara relatif masyarakat hidup tanpa kepastian. Potret umum seperti itu hampir menjadi bahan cerita sebagian besar novel dan cerpen Indonesia.
Dalam film Chocolat diceritakan bahwa proses transformasi telah berjalan. Perubahan yang signifikan terjadi ketika Walikota merasa frustrasi ketika dia mulai tidak dipercaya dan tidak didengar oleh penduduknya. Dalam keadaan agak mabuk, ia memakan coklat dan merasakan kelezatan “hal-hal manis” itu. Peristiwa itu diketahui Vianne dengan senyum pengertian. Walikota percaya Vianne tidak akan menceritakan aib itu kepada siapa pun. Di akhir cerita dikisahkan masyarakat hidup dengan saling memaklumi, saling menghormati, tawa ceria muncul di sana-sini, dan gairah kerja bergotong-royong kembali marak, hidup dengan hati tentram dan damai, semua konflik dan pergolakan di masa lalu dianggap sebagai pelajaran yang berharga dan sekaligus dimaklumi. Suami yang jahat kepada istri berkata “Tuhan menjadikan manusia baru. Semua sudah berubah. Aku berjanji sejak sekarang semua berubah.”
Hal ini agak berkebalikan dengan novel-novel Indonesia. Proses tranformasi tetap jalan, tetapi seperti menuju ke arah yang menakutkan. Atau, apakah novel Indonesia lebih realistis. Dalam Mantra Penjinak Ular, Abu Kasan, walau ke depan bercita-cita hidup menjadi dalang, tetapi masa depannya penuh ketidakpastian, masa depan masyarakat berjalan tanpa tahu ke mana arahnya. Dalam trilogi Ronggeng Dukuh Paruk yang diakhiri dalam novel Jantera Bianglala diakhir dalam kalimat-kalimat berikut.
Malam hari ketika sudah berada kembali di Dukuh Paruk aku berdiri tanpa teman di luar rumah. Sekelilingku adalah tanah air yang kecil dan sengsara. Ditambah dengan nestapa yang sedang menimpa Srintil, Dukuh Paruk bertambah sakit. ... Dukuh Paruk yang sejak kelahirannya tidak pernah mampu menangkap maksud tertinggi kehidupan (hlm. 230).
Sementara aku berdiri di punggung Dukuh Paruk yang tua dan masih naif. Langit di atasku kelihatan bersih. Hanya kabut yang gaib..... Mendiang Sukarya sering mengatakan, bulan berkalang bianglala
adalah pertanda datangnya masa susah dan Dukuh paruk selalu percaya akan kata-kata kamituanya......Dukuh Paruk harus kubantu menemukan dirinya kembali, lalu kuajak mencari keselarasan dihadapan Sang Wujud yang serba tanpa batas (hlm. 231).
Di dalam Wasripin & Satinah (2003), Kuntowijoyo mengakhiri ceritanya dengan lebih sedih dan seram.
Sebuah jip hijau berhenti. Tiga orang tentara turun. Mereka memapah seorang berpiyama yang lusuh, lalu menaruh orang tua itu di tepi jalan. Sepotong bambu sepanjang dua meter dilemparkan. Jip itu pergi. Orang tua merangkak memungut bambu itu. Orang tua yang ternyata bongkok itu berja]an mondar-mandir bertumpu tongkat bambu. Banyak orang lewat, tetapi tak memperhatikan. Seorang lewat dengan sepeda motor. Orang itu berhenti. “Pak Modin! Pak Modin!”
Orang tua itu diam saja, menatap dengan kosong. Orang tua itu mengulurkan tangan.
.....
Ia menaikkan orang tua itu ke atas becak, dia sendiri duduk di samping, memapah. Orang itu menangis.
“Mengapa engkau menangis?”
“Tidak apa!”
“Ke mana lagi saya dibawa?”
“Pulang ke rumah!”
“Apa? Rumah?”
“Ya, Pak.”
“Bajumu kotak-kotak. Kau bukan tentara?”
“Saya nelayan, Pak. Anakmu.”
“Saya tak punya anak.”
“Setiap nelayan anakmu.”
“0, begitu.”
Hari itu Hari Pasar, sekalipun para nelayan belum melaut, pasar sudah buka. Tukang becak itu turun dan mendorong becaknya.
Mereka yang kebetulan melihat penumpang becak berteriak.
“Pak Modin! Pak Modin!”
Mereka membentuk ekor panjang. Para lelaki sesenggukan dan para perempuan menangis (hlm. 254-256).
Ahmad Tohari mengakhiri ceritanya dalam Orang-orang Proyek (2004) dalam paragraf berikut.
Angin sore masuk melalui celah kaca mobil. Namun kesejukannya tidak bisa meredam hati Kabul yang tiba-tiba merasa sangat digelisahkan oleh pertanyaan: Ada berapa ribu proyek yang senasib dengan jembatan Cibawor? Dan dengan mental ‘orang-orang proyek’ yang merajalela di mana-mana bisakah orang berharap akan terbangun sebuah tatanan hidup yang punya masa depan? (hlm. 227).
Dalam Chocolat, perubahan yang paling penting adalah orang memilih kebebasan daripada kedamaian. Dalam kedamaian belum tentu ada kebebasan, tetapi dalam kebebasan sangat mungkin ada kedamaian. Apakah Chocolat utopis? Bagaimana masyarakat Indonesia?
Ibda` | Vol. 5 | No. 2 | Jul-Des 2007 | 257-275 12 P3M STAIN Purwokerto | Aprinus Salam
Endnote
1 Agus Salim, Perubahan Sosial Sketsa Teori dan Refleksi Metodologi Kasus Indonesia (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002), hal. 11.
2 Sebagai acuan lihat F.R. Allen, Social-Cultural Dynamics (Newyork: Macmillan, 1971); J. A. Ponsioen, The Analysis of Social Change Reconsidered (Mouton: The Hugo, 1969); Selo Soemardjan dan Soelaeman (Eds.), khususnya bab “Perubahan-perubahan Masyarakat dan Kebudayaan” dalam Setangkai Bunga Sosiologi (Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1964).
3 Lihat dan bandingkan dengan Agus Salim, Perubahan..., hal. 9-24.
4 Dalam sebuah pembicaraan, T. Jacob dan Sumijati Atmosudiro menyamakan pengertian local knowledge (pengetahuan lokal) dan local wisdom (kearifan lokal), dengan alasan bahwa kearifan lokal juga mengandung sisi-sisi pengetahuan yang khas dalam masyarakat tertentu.
Daftar Pustaka
Allen, F.R. 1971. Social-Cultural Dynamics. New York: Macmillan.
Kayam, Umar. 1992. Para Priyayi. Jakarta: Gramedia
Kuntowijoyo. 2000. Mantara Penjinak Ular. Jakarta: Kompas Media Nusantara.
___________. 2003. Wasripin & Satinah. Jakarta: Kompas.
Ponsioen, J.A. 1969. The Analysis of Social Change Reconsidered. Mouton: The Hugo.
Salim, Agus. 2002. Perubahan Sosial Sketsa Teori dan Refleksi Metodologi Kasus Indonesia. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Soemardjan, Selo dan Soelaeman (Ed.), 1964, khususnya bab “Perubahan-perubahan Masyarakat dan Kebudayaan” dalam Setangkai Bunga Sosiologi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Tohari, Ahmad. 1986. Jantera Bianglala. Jakarta: Gramedia.
___________. 2004. Orang-Orang Proyek. Yogyakarta: Mahatari.
<




Tidak ada komentar:

Posting Komentar